Benteng keratonPulau Buton di sebelah tenggara Sulawesi. Di antara
Teluk Bone, Selat Muna, dan Laut Banda. Dan, sekitar dua belas jam
perjalanan laut dari kota Makassar. Rona budaya dan agama masih membaur
erat, memayungi kehidupan masyarakat. Benteng Keraton Wolio masih
menjadi simbol kejayaan Kesultanan Buton. Dan, jauh ke pelosok pulau,
juga menghampar benteng-benteng tua, yang menjadi bukti keberadaan,
Negeri Seribu Benteng.
Pelabuhan Murhum adalah gerbang utama kota Bau-Bau, untuk menjangkau
kota-kota lain di Pulau Buton. Ratusan orang dari berbagai wilayah
datang dan pergi dari tempat ini. Namun, sekitar seratus dua puluh ribu
penduduk kota ini, tidak pernah terusik. Mereka tetap larut dengan
rutinitas sehari-harinya. Pulau Buton menjadi menarik, tentu berkaitan
dengan masa silam, ketika Kesultanan Buton menjadi pengendali kekuasaan
dan kedaulatan wilayah ini. Dan, catatan nyata yang membuktikan kejayaan
kesultanan itu, salah satunya adalah Benteng Keraton Wolio.
La Ode Hafilu adalah salah seorang keturunan salah seorang Sultan
Buton. Ia kerap mendampingi para peneliti, yang berniat mendapatkan data
tentang Benteng Keraton Wolio, atau jejak-jejak kejayaan Kesultanan
Buton. Karena itu, ia pun mampu menuturkan keunikan Benteng Keraton
Wolio dari sisi arsitektur dan makna yang dikandungnya. Persisnya,
berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianut oleh Sultan-Sultan Buton.
Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton
ke-III, La Sangaji, pada abad ke-15. Dan, pembangunannya rampung pada
masa pemerintahan Sultan Buton ke-VI, La Buke, pada tahun 1634.
Bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelah selatan sebagai
kepalanya, maka akan membentuk huruf dal, huruf ke delapan pada alfabet
bahasa arab. Atau, huruf terakhir nama Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi
wassalam.
Pintu benteng, atau lawa, berjumlah 12, yang berarti jumlah lubang pada
tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh
Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam ‘alaihi salam.
Bastion, atau kubu pengawasan, berjumlah 16. Tapi, sumber lain
menyebutnya berjumlah 17, yang berarti jumlah rakaat shalat dalam
sehari. Angka-angka pilihan, yang berkaitan dengan nilai-nilai tasawuf,
juga diperlihatkan Masjid Agung Keraton. Masjid ini memiliki 12 pintu,
memiliki 17 anak tangga, dan dua anak tangga tambahan di depannya. Makna
dua anak tangga adalah shalat sunnah.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan,
ekonomi, sosial, dan syiar islam. Kegiatan syiar Islam terjadi,
persisnya setelah bentuk pemerintahan di wilayah ini berubah dari
kerajaan menjadi kesultanan, pada masa pemerintahan Raja Buton ke-VI,
Lakilaponto, yang akhirnya berganti nama menjadi, Sultan Murhum
Kaimuddin Khalifatul.
Selain pusat pemerintahan, bagian benteng juga menjadi lokasi
pemukiman. Hal ini memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang
luas, yakni sekitar 400 ribu meter persegi, dan dikelilingi benteng
sepanjang 2740 meter. Tinggi tembok benteng adalah dua hingga delapan
meter, dan lebarnya satu hingga dua meter. Catatan lengkap tentang
Benteng Keraton Wolio dan jejak-jejak Kejayaan Kesultanan Buton, juga
bisa didapat melalui manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah
Mujazi Mulki. Ia juga merupakan salah satu keturunan Sultan Buton.
Bahkan, para leluhurnya pun merupakan pencatat dan penyimpan manuskrip
Kesultanan Buton. Seluruh manuskrip-manuskrip kuno ini ditulis dengan
huruf arab gundul. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa arab,
bahasa melayu, atau bahasa wolio.
Benteng Keraton Wolio juga masih menyimpan adat istiadat khas buton.
Upacara akad-nikah diawali dengan iring-iringan mempelai laki-laki, saat
hendak mendatangi rumah mempelai perempuan. Prosesi akad nikah, seperti
juga dilakukan para leluhur mereka, dilaksanakan di dalam kamar
mempelai perempuan. Dan, di dalamnya hanya terdapat orangtua kedua
mempelai, penghulu, dan tetua adat. Seluruh prosesi dilakukan dalam
bahasa wolio.
Benteng di pulau buton, ternyata bukan hanya Keraton Wolio. Namun,
puluhan-puluhan benteng-benteng lain, juga menyanggah Benteng Keraton
Wolio dan mengawal Pulau Buton.
Hazirun Kudus juga merupakan salah seorang keturunan Sultan Buton. Ia
juga dikenal sebagai arkeolog lokal, yang memahami banyak tentang
sebaran benteng-benteng di Pulau Buton dan jejak-jejak kejayaan
Kesultanan Buton.
Di kota Bau-Bau sendiri, paling tidak terdapat tujuh benteng. Dan,
puluhan lainnya tersebar di berbagai tempat, termasuk di pulau-pulau
kecil di sekitar Pulau Buton. Penjelasan ini membangun dugaan kuat
tentang konsep “benteng dalam kota”, seperti di negeri Jerman atau
Perancis. Perbedaan benteng di Pulau Buton dibandingkan kedua negeri
itu, benteng-benteng di sini hanya merupakan tumpukan batu kali, yang
disatukan pasir dan kapur. Saat itu, memang tidak ada semen. Sedangkan
senjata andalannya adalah meriam buatan Portugis. Kekuatan lain adalah
para prajurit kesultanan didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sehingga,
mereka pun merasa yakin, mampu menghadapi siapapun, yang berniat
merampas kedaulatan Kesultanan Buton.
Benteng Sara Wolio, yang menjadi penyangga Benteng Keraton Wolio,
bisa menjadi pembuktian awal Pulau Buton sebagai Negeri Seribu Benteng.
Meski kerusakan mewarnai sebagian besar bangunan, namun tidak menutup
ketegaran tembok-temboknya. Di bagian dalam, benteng tua ini hanya
menyimpan rumput ilalang dan makam tua. Arsitektur bangunannya sendiri
jauh lebih sederhana dibandingkan Benteng Keraton Wolio.
Dilihat dari atas, bentuknya adalah hampir persegi panjang, dengan
empat bastion atau kubu pengawasan di tiap sudutnya. Menurut Rahmat
Wong, arkeolog yang sering melakukan penelitian tentang benteng, hampir
seluruh benteng di Pulau Buton berbentuk mirip Benteng Sara Wolio. Tidak
tercapainya bentuk persegi panjang, karena bentuk benteng disesuaikan
dengan kontur tanah di bawahnya. Sedangkan, bahan bangunan yang
digunakan sama dengan benteng keraton wolio, yakni dari batu kali serta
campuran pasir dan kapur.
Benteng Sara Wolio ternyata terdiri dari dua bangunan. Dan, keduanya
memiliki pintu penghubung. Seperti juga Benteng Sara Wolio pertama,
Benteng Sara Wolio kedua pun tidak lagi terawat. Cukup sulit untuk
mendapati pintu, atau lawa, di benteng ini. Sedangkan di bagian dalam
benteng, lagi-lagi hanya memperlihatkan rumput ilalang.
Hanya sekitar satu kilometer dari Benteng Keraton Wolio, kota Bau-Bau
juga masih menyimpan ketegaran Benteng Baadia. Satu dari puluhan
benteng di Negeri Seribu Benteng. Bentuknya mirip Benteng Sara Wolio.
Nasibnya pun, persis seperti benteng-benteng penyangga Benteng Keraton
Wolio, tidak terawat dan seakan dibiarkan hancur. Padahal, seperti juga
Benteng Keraton Wolio, benteng-benteng kecil ini pun, bagian dari
Kejayaan Kesultanan Buton. Lebih jauh lagi, merupakan fakta sebuah
peradaban luhur di masa silam, seperti yang biasa dipaparkan oleh para
sesepuh dalam syair-syair kabanti. Yakni, sebuah kesultanan yang
menjunjung tinggi ajaran tasawuf. Namun, mereka pun cerdas membangun
tata kota, yang bisa terhindar dari ancaman negeri-negeri yang serakah.
Inilah Negeri Seribu Benteng. [Screening: Program POTRET SCTV 30 Juni
2007]
Yinda yindamo arata somanamo karo.
(korbankan harta demi keselamatan diri)
Yinda yindamo karo somanamo lipu.
(korbankan diri demi keselamatan negara)
Yinda yindamo lipu somanamo syara.
(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)
Yinda yindamo syara somanamo agama.
(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)
La Mutadi dan istrinya, masih menyenandungkan syair-syair kabanti di
lingkungan rumahnya, di dekat kawasan Benteng Keraton Wolio, kota
Bau-Bau, Pulau Buton. Syair kabanti adalah salah satu bentuk tradisi
lisan di Pulau Buton, yang berisikan nasihat dan ajaran kehidupan. Makna
lebih dalam dari syair-syair berbahasa wolio ini, umumnya adalah
petikan ajaran tasawuf, yang diwariskan para leluhur warga Pulau Buton.
Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja
pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau Buton telah menjadi
catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, nama buton
tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.
Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal
Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di
Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-VI Buton,
Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap
keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di
pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja pun
berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul.
La Ode Muchir Raaziki adalah ahli tasawuf dan juga mantan Imamu
Masjid Agung Benteng Keraton Wolio. Ia memahami sejarah dan perkembangan
ajaran tasawuf dari para leluhurnya. Sebagai Imamu Masjid Agung Benteng
Keraton Wolio, dulu ia seakan menjadi pengawal kehidupan jasmani dan
rohani di lingkungan Benteng Keraton Wolio.
Pelaksanaan shalat jum’at adalah momen yang mempertemukan para syara
agama, atau pengurus agama, di lingkungan Benteng Keraton Wolio dengan
jamaah masjid, yang pastinya warga di lingkungan benteng sendiri. Dulu,
masjid menjadi tempat bertemunya sultan dan perangkat adat dengan
rakyat. Maka di bagian depan masjid terdapat dua ruang, satu untuk
sultan dan satu lagu untuk sultan batin, atau lakina agama. Setelah
Kesultanan Buton berakhir, masjid hanya memiliki lakina agama, imamu
masjid, dan para pengurus lainnya.
Panggilan ketiga bedug telah terdengar. Maka, waktu shalat jum’at
telah tiba. Di bale depan masjid, Imamu Masjid masih berzikir, untuk
mendapatkan petunjuk dari Yang Mahahidup. Tata cara seperti ini sudah
dilakukan sejak ratusan tahun yang silam. Imamu masjid benar-benar
mempersiapkan diri dan batinnya, sebelum ia berhadapan dengan jamaahnya.
Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri,
yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan
warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara akad nikah
adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian
upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100
bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis
yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang
Mahaperkasa.
Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh
Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang
Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno,
yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio.
Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai
ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu.
Bahasa melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang
lama bermukim di Johor, Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau
Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.
Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh
adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan
Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga,
mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai
diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi,
yakni tarekat.
Saat pelaksanaan shalat jum’at semakin dekat. Setelah Imamu Masjid
melaksanakan shalat tahiyatul masjid, ia pun langsung memasuki mihrab.
Maka, shalat jum’at pun segera dimulai. Khutbah salah seorang syara
agama merupakan momen pembekalan batin. Warga pulau buton percaya, doa
dan harapan yang disampaikan sang khatib akan membuahkan keselamatan
bagi para jamaah. Karena, setiap musibah yang dialami oleh warga di
minggu depan, biasanya akan menjadi kesalahan sang khatib.
Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya.
Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan,
tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang Maharaja. Dan,
Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan
dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan
yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun
bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya
oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar
martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan
bila terbukti ia melakukan kesalahan.
Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar
Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan
falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi masalah agama di atas
pemerintah, negara, dan diri pribadi.
Yinda yindamo arata somanamo karo.
(korbankan harta demi keselamatan diri)
Yinda yindamo karo somanamo lipu.
(korbankan diri demi keselamatan negara)
Yinda yindamo lipu somanamo syara.
(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)
Yinda yindamo syara somanamo agama.
(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)
Semoga saja, tidak hanya menjadi manuskrip kuno di rak buku Muzaji
Mulki. Karena, inilah Negeri Martabat Tujuh, negeri yang mengagungkan
ajaran tasawuf dan para khalifatulnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar